Lelaki Penyendiri

Tak ada yang istimewa dari dirinya. Sama seperti lelaki lainnya. Lelaki yng selalu penuh dengan ide-ide lelaki, menyukai tantangan alam, suka kekerasan, sesekali menangis menonton film romantis, namun sebagian besar waktunya digunakan untuk menikmati jalan cerita violence-sadistic kehidupan. Di lingkungannya juga, hanya seorang makhluk penggembira, menimbulkan kesenangan, dan tawa di antara teman-temannya. Semua orang menyukai akan energi yang diberikannya. Hangat, nikmat, indah, dan bersahabat.

Tak ada juga yang istimewa juga dengan otaknya. Nilai-nilainya juga merata dalam tataran kampus terbaik di negeri ini. Ada yang A, dan dia bersyukur mendapatkannya. Nilai B juga tertulis rapi dan berbaris menurun dalam transkrip yg sesekali dalam 1 tahun ia ambil. C, jangan heran kalau kadang2 sang lelaki itu menggerutu kesal dan marah2 tak tentu arah melihat nilai-nilai ini dalam hasil akhir yang keluar dalam penantian yang terkadang menyenangkan. Nilai D... Hingga saat ini setidaknya ia menyatakan ia belum pernah mengalami dua pengalaman yang tiba-tiba bisa dialami; Nilai D dan Kematiannya sendiri.

Pemikirannya... wuih,,, jangan coba2 dengan apa yang dia pikirkan. Tidak ada sesuatu pun yang special dari pemikiran-pemikirannya. Yang ada hanya menelan bulat2 dari para pemikir dunia dan lokal yang ada didekatnya, kemudian dijalankannya tanpa memahami konteks kediriannya sendiri, dan pada akhirnya inilah dia. Sang lelaki yang banyak tahu tentang segala hal namun tak memahami makna kehidupannya. Inilah sang lelaki yang bisa berdebat dalam segudang otak-otak manusia di bumi namun tak mengerti bahwa dirinya sendiri adalah sang pemikir agung itu... jika ia mau.

Ia mudah bersahabat dengan semua orang, ia gampang beradaptasi dengan lingkungan baru, ia cepat melontarkan dan mengembangkan ide-ide brilian dalam dirinya, ia juga selalu menyebarkan nilai-nilai hidup yang dipegangnya. Itulah hal-hal berharga yang dimilikinya, itulah harta-harta yang tanpa disadari membangun diri dan citranya dalam hidupnya. Mau atau tidak dirinya adalah seorang lelaki yang—setidaknya—cukup istimewa bagi lingkungannya dan keluarga.

Hanya satu hal yang istimewa dari dirinya, yang orang lain kadang punya dan mungkin tidak. Ia menyukai kesendirian, ia sangat cinta akan kesunyian. Mungkin ini adalah titik puncak ego yng dimiliki manusia. Kala manusia lain terobsesi untuk memiliki harta, pangkat, kedudukan, wanita yang dicintainya (ini adalah cerita seorang lelaki... Ingat...), atau bahkan popularitas yang demikian melangit, dengan mengikis sedikit demi sedikit privacy yang dibangun sedari kecil. Ia tidak,,, baginya obsesi tertingginya hanya satu; KESENDIRIAN, atau kalau boleh dua, ya KESENDIRIAN & KESUNYIAN ini cukup baginya.

Maka inilah kehidupan. Saat ini aku tidak hidup sendiri, ada banyak orang yang mungkin dekat denganku atau ingin dekat dan mengenal pribadiku. Dari titik ini, kemudian... “Aku harus berteman, menjalin hubungan, dan terkadang juga ikut bersama-sama dengan yang lain menikmati kebersamaan. Ini pasti akan menyenangkan”... komentar sang lelaki itu.

“Yuk hari ini kita nonton yuk...”

“yuk hari ini kita jalan-jalan yuk”

“Yuk sekarang ke mana gituy...?”

“Oi... lo ada acara kaga hari ini...?”

“Jangan lupa ada rapat ini dan rapat itu...”

“Enaknya ngapain ya hari ini...?”

Komentar-komentar yang membuatnya melek akan kehidupan, bahwa hidup ini tidak bisa dijalani dalam keegoisan sendiri dan kesendirian. Hidup harus dijalani bersama-sama, hidup harus dijalani dalam persahabatan, dan hidup harus dijalani dalam kebersamaan, pemahaman, dan pengertian, bahkan kepada diri sendiri.

Jadilah ia... sang lelaki penyendiri itu, kini ada di tengah-tengah mereka. Merasakan persahabatan, sekaligus menikmati kesunyiannya yang sesekali terenggut aktivitasnya. Merasakan kesendirian, dan keramaian dalam waktu yang saling bergesekan, hingga ia sulit membedakan apakah obsesinya kini sudah terwujud atau dia menjadi seorang yang anti akan ketololannya.

Namun... Sang lelaki masih lekat dalam obsesinya. Ia selalu ingin sendiri. Ia rindu akan kesunyian. Kepbribadian dingin dalam dirinya kembali muncul. Apalagi setelah semua yang dia lalui bersama dengan teman-temannya, dunianya, dan juga lingkungannya. Ia ingin kembali fokus dan konsentrasi dalam obsesinya. Karena selama ini ia tidak bisa berkonsentrasi dalam obsesinya hanya karena keberadaan dunia yang ada di samping, depan, dan belakangnya.

Ia mulai mereka-reka jawab, bagaimana aku bisa mengejar obsesiku ini. Maka ia dihadapkan pada dua pilihan sulit dalam kehidupan dan obsesinya sendiri.

1. Aku harus bersikap dingin dan kasar kepada semua yang ada di dekatku. Agar semua menjauhiku, membenciku, dan mencercaku. Ketika semua sudah memuncak dan menjauhiku, toh akhirnya aku menjadi sendiri, dan hanya bersama kesunyianlah aku berjalan. Tapi hati kecilku mengatakan bahwa aku masih butuh manusia lain.

2. Aku lenyapkan saja obsesiku, karena sebenarnya aku makhluk sosial yang hakikatnya tidak bisa hidup dalam kesendirian. Aku tohhh masih butuh teman dan rekan-rekan dalam menjalani hidup. Tapi mana mungkin aku bisa hidup tanpa obsesi dan mimpi ini. Hanya mimpi dan obsesi yang bisa menggerakkan kita menuju tujuan kita semua.

Dua pilihan sulit dalam hidup. Tapi harus dipilih...

Lama sang lelaki merenung, entah sudah berapa hembusan nafas yang belum memberikan jawaban atas obsesinya. Hingga pada akhirnya sang lelaki tersenyum, dan menemukan jawabannya selama ini. Maka tatkala aku ingin kesendirian dan kesunyian bagi diriku. Hanya satu jalan yang bisa kulalui...

KEMATIAN... YA KEMATIAN...

Dan akhirnya... Inilah sang lelaki penyendiri itu. Yang ternyata kini telah berubah obsesi.

IA KINI JATUH CINTA PADA KEMATIAN... IA RINDU AKAN KEMATIAN...

DAN SEJURUS KEMUDIAN...

IA BERUBAH MENJADI SEORANG PEMBURU KEMATIAN... PEMBURU CINTANYA SENDIRI

Inilah kisahnya... SANG LELAKI PENYENDIRI... YANG TEROBSESI PADA KESUNYIAN, KESENDIRIAN, DAN.... KEMATIAN.

Comments

Popular posts from this blog

Apa Rasanya.?

Surat untuk dia...

Hubungan Sosial di Era Digital (part 4)